Jumat, 31 Agustus 2012

ABSTRAK


Di sini sekarang ini aku bersedekap dalam diamku. Meskipun rasanya aku hendak mengekspresikannya, batinku berkata bukan tempatnya. Karena itu setelah aku melalui banyak kegelisahan dan kegalauan standard khas remaja, aku putuskan untuk menulisnya. Di satu sisi aku juga merindukan Lappy. Netbook kesayanganku yang selalu menjadi teman curhatku tanpa perlu ia meresponnya sedikitpun. Cukup dengan jemari (lentik)ku menari di atas keyboardnya aku sudah puas. 


Aku ingat bagaimana aku bersumpah
tak akan pernah tergila-gila pada hal yang fana. Tapi ternyata asyik juga melarutkan diri. Begitu aku lepas dari keasyikan tersebut aku tersadar, dan meyakinkan diri untuk tidak larut lebih jauh lagi. Sayangnya begitu kesempatan itu tampak celahnya, aku masuk ke dalam. Dan tak pernah mau keluar lagi.

Kadang aku geram pada diriku. Aku ingin menciptakan sesuatu yang berbeda, aku tak ingin menjadi orang kebanyakan, tapi kebanyakan orang menganjurkan untuk menjadi seperti mereka tanpa mereka sendiri sadari. Aku merasa tiba di taraf kefanatikan seorang remaja yang dari dulu selalu kuwanti-wanti . aku mewanti-wanti diriku sendiri. Dan sekarang aku sudah menjadi deretan ke sekian sebagai penggemar fanatisme suatu materi. Atau seseorang.

Kalau saja pikiranku mau terbuka lebih luas, mungkin aku tak kan hanya memikirkan satu hal tersebut. Sehingga otakku sendiri menjadi lebih berkualitas. Tapi apa? Yang kudapati adalah imaji dari alam bawah sadarku, merayap namun pasti memaksaku lagi-lagi berjalan di tempat. Kalian tahu? Orang akan bersemangat mencari tahu, atau mendapatkan sesuatu yang ada hubungannya dengan yang disukainya. Contoh saja band yang sedang ngetrend atau music pop. Kita akan bersemangat sekali mendapat informasi tentangnya. Dan akan terus mencari lebih jauh. Sayangnya hal itu sering membuat kita hanya berpikir di tempat. Di satu lingkaran, tempat yang kita sukai, jadi lingkaran lain diacuhkan.
\
Sekarang, aku tengah berusaha menambah wawasanku tentang isi alam semesta yang carut marut ini. Aku tak ingin wawasanku sebatas pada apa yang hanya kusukai. Lebih parahnya lagi, aku belum tahu apa yang benar-benar kusukai. Aku merasa minder, tidak mempunyai sesuatu untuk digemari sebagaimana remaja lain.

                                                                                                ***

Aku ingin menegaskan, aku hanyalah seorang remaja yang apalah artinya bila berdiri di tengah milyaran remaja di muka bumi ini. Jadi aku tak tahu banyak tentang diriku sendiri. Apalagi orang lain. Di suatu acara, aku bertemu, atau lebih tepat mendapatkan satu hal baru untuk memoles perjalanan hidupku. Agar tidak monoton. Aku tidak tahu apa aku pantas mengatakannya sebagai cinta pada pandangan pertama. Aku lebih suka menyebutnya, uji coba bunuh diri perlahan-lahan. Aku tidak pernah percaya hal semacam itu. tapi rupanya roda kehidupanku selalu bertemu dengan kisah ebel-ebel semacam itu. aku merasa kurang elegan. Gengsiku sangat tinggi untuk mengaku aku juga suka kisah ebel itu.

Dari dulu, aku mengenal satu-persatu orang-orang di sekitarku. Dan menelan mentah-mentah apa yang disebut, ketertarikan dengan sesama individu. Tak jauh-jauh, paling teman sekelas, atau kakak kelas. Aku menikmati saja pergantian itu, dari satu hati ke hati lainnya. Makanya kubilang pacaran itu tidak ada yang sejati, semua Cuma polesan. Karena cinta sejati hanya ada setelah menikah. Dari semua laki-laki yang menarik bagiku (ah bahasanya gak keren), aku menarik kesimpulan, mereka sama. Ketika usiaku beranjak remaja, (baru beranjak), aku belajar untuk tidak  menjadikan laki-laki sebagai mahluk lain dari planet Pluto yang ternyata bukan planet, namun menjadi sesame manusia. Aku mulai berteman. Dan sensasi-sensai cinta monyetku ketika umurku masih sepuluh tahun ke bawah. Berangsur-angur hilang digantikan kekaguman yang menurutku lebih anggun. Dan aku senang, aku tidak lagi salah tingkah.


Ini yang kumaksud berpindah dari lingkaran ke lingkaran lain. Dengan membuat pertemanan itu, aku tidak lagi hanya mengenal apa yang kusukai. Kalau disini, siapa yang kusukai. Aku sungguh mabuk, aku merasa eksistensiku diakui oleh mereka. Dari mulai level bawah sampai para borjuis itu mengakui keberadaanku. Itu yang kurasakan. Itu seiring sejalan—kekaguman yang anggun itu hilang pula. aku mati rasa. Ternyata setelah kuselami betul teman-teman lelakiku. Mereka biasa saja. Tidak ada keistimewaan khusus. Karena mataku baru melek, mereka juga remaja biasa. Tak sepatutnya aku kagum. Begitukah? Betulkan itu yang terjadi pada diriku? Kalau ya, parah sekali.

Aku lupa satu hal, walaupun mungkin delapan puluh persen batinku membela. Pola pergaulan sudah cukup merambah luas. Networkku sudah cukup bagus. aku menjadi orang yang netral yang tidak bergaul hanya dengan satu kelompok. Satu waktu kalian menemukanku berbincang tentang kafe-kafe anak muda terkenal di Jakarta, bersama kelompok borjuis. Satu waktu lagi kalian menemukanku membahas pengajian yang disiarkan semalam bersama kelompok religius. Satu waktu lagi kalian menemukanku membahas sinetron remaja Indonesia yang super alay. Dengan kelompok yang begitu fanatiknya menonton sinetron tesebut. Dan kalian bisa tanya pada mereka, maestro-maestro penyanyi  bermutu Indonesia. Pasti mereka geleng-geleng gak ngerti.
\
Tapi batinku yang dua puluh persen bilang, aku lupa bahwa setiap manusia itu unlimited edition. Aku sering mendengar ceramah-ceramah modern, bukan dari mulut orang-orang yang menampilkan simbolisme islamnya, tapi mereka yang berjas, berdasi dan berkecimpung di dunia bisnis. Selalu menganjurkan untuk menjadi sekaya mungkin, dan mengingatkan kita untuk bersodaqoh sebanyak mungkin pula. pertama, percayalah, bahwa setiap orang adalah unlimited edition.

Tidak ada seorangpun yang seperti dirimu. Kau istimewa. Kau hanya satu di dunia. Jadi tidak benar juga kalau kubilang anak-anak itu tidak ada istimewanya. Nah, tergantung, dari sudut pandang mana akan kunilai. lalu kalau setelahnya aku menelan ludahku sendiri, bagaimana? akan kumuntahkan tentunya.

                                                                                                ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar